EVE - Wall-E

Senin, 23 November 2015

Perang Pasifik

Perang Pasifik atau Perang Asia Pasifik, atau yang dikenal di Jepang dengan nama Perang Asia Timur Raya (Greater East Asia War (大東亜戦争 Dai Tō-A Sensō?)) adalah perang yang terjadi di Samudra Pasifik, pulau-pulaunya, dan di Asia. Konflik ini terjadi antara tahun 1937 dan 1945, namun peristiwa-peristiwa yang lebih penting terjadi setelah 7 Desember 1941, ketika Jepang menyerang Amerika Serikat serta wilayah-wilayah yang dikuasai Britania Raya dan banyak negara lain serta yang dikuasai oleh sekutu.
Perang ini dimulai lebih awal dari Perang Dunia II yaitu pada tanggal 8 Juli 1937 oleh sebuah insiden yang disebut Insiden Jembatan Marco Polo Peristiwa tersebut menyulut peperangan antara Tiongkok dengan Jepang.Konflik antara Jepang dan Tiongkok dan beberapa dari peristiwa dan serangannya yang penting juga merupakan bagian dari perang tersebut. Perang ini terjadi antara pihak Sentral diantaranya Jepang, Jerman Nazi, dan Italia dengan pihak Sekutu (termasuk Tiongkok), Amerika Serikat, Britania Raya, FilipinaAustraliaBelanda dan Selandia BaruUni Soviet berhasil memukul mundur Jepang pada 1939, dan tetap netral hingga 1945, saat ia memainkan pernanan penting di pihak Sekutu pada masa-masa akhir perang.
Setelah dijajah pada tahun 1941, Thailand dipaksa bergabung dengan pihak Jepang. Jerman Nazi dan Italia yang juga merupakan sekutu Jepang, mengeoperasikan armada Angkatan Laut mereka di Samudra Pasifik dan Hindia antara tahun1940 dan 1945.
Antara tahun 1942 dan 1945, terdapat 4 wilayah otorita Sekutu yang berperang melawan Jepang: Tiongkok, wilayah Samudra Pasifik, Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat Daya.
Perang Pasifik berakhir pada 15 Agustus 1945 dan perjanjian menyerahnya Jepang ditandatangani oleh wakil dari sekutu yaitu Jendral Doughlas McArthur dan Jepang diwakili oleh Mamoru Shigemitsu di atas kapal USS Missouri.

Akibat Perang Pasifik[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah beberapa akibat dari Perang yang terjadi antara tahun 1937 sampai 1945 ini:
sumberr : https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Pasifik

Selasa, 17 November 2015

Sejarah Awal Organisasi Pemuda


Sebelum Indonesia merdeka, negara kita memiliki berbagai organisasi kepemudaan yang beranggotakan para pemuda-pemudi Indonesia baik yang bersifat nasional maupun kedaerahan. Berikut ini adalah daftar beberapa organisasi perkumpulan pemuda di Indonesia :

1. Budi Utomo / Boedi Oetomo

Budu Utomo berdiri pada tahun 1908 yang pada awal mula berdirinya merupakan organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional.

2. Trikoro Dharmo / Tri Koro Dharmo

Trikoro Dharmo adalah sebuah perkumpulan pemuda yang berasal dari Jawa pada tahun 1915 di gedung kebangkitan nasional. Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi Jong Jawa pada kongres di Solo. Arti definisi / pengertian dari tri koro dharmo adalah Tiga Tujuan Mulia.

3. Jong Sumatra Bond (Persatuan Pemuda Sumatra)

Organisasi oni berdiri pada tahun 1917 yang memiliki tujuan untuk mempererat hubungan antar pelajar yang berasal dari sumatera. Beberapa toko terkenal dari organisasi ini yaitu seperti M. Hatta dsan M. Yamin.

4. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia

Organisasi yang satu ini berdiri pada tahun 1925 yang diprakarsa oleh mahasiswa Jakarta dan Bandung dengan tujuan untuk Kemerdekaan Indonesia.

5. Jong Indonesia

Perkumpulan pemuda dan pemudi ini didirikan pada tahun 1927 di Bandung di mana kemudian organisasi ini diubah menjadi Pemuda Indonesia untuk yang berjenis kelamin laki-laki dan Putri Indonesia bagi yang perempuan. Pemuda Indonesia membuat kongres di mana pada kongres yang kedua menghasilkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

6. Indonesia Muda

Indonesia Muda adalah organisasi nasional yang lahir karena dorongan Sumpah Pemuda pada tahun 1930 sebagai peleburan banyak organisasi pemuda daerah / lokal.

7. Organisasi Perkumpulan Daerah

Setelah muncul jong jawa dan jong sumatra bond, maka bermunculanlah organisasi lokal kedaerahan lain seperti jong celebes, jong ambon, jong minahasa, dan lain sebagainya.

Orang-Orang Cina Berontak

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa dan jumlahnya pun semakin banyak. Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, bahkan tidak sedikit yang menikah dengan penduduk Jawa. Begitu juga pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok. Dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian di Jawa. Orang-orang Cina yang datang ke Jawa tidak semua yang memiliki modal. Banyak diantara mereka termasuk golongan miskin. Mereka kemudian menjadi pengemis bahkan ada yang menjadi pencuri. Untuk membatasi kedatangan orang- orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (sri lanka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina. Pada suatu ketika tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. Oleh karena itu, para serdadu VOC mulai bereaksi dengan melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang cina dan kemudian melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Cina yang ditemukan di setiap rumah. Sementara yang berhasil meloloskan diri dan melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa. Perlawanan dan kekacauan yang dilakukan orang-orang Cina itu kemudian meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapatkan bantuan dan dukungan dari para buapati di pesisir. Bahka yang menarik atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC.
sumber :http://manggoloyudo.indonesiaz.com/orang-orang-cina-berontak.xhtml

Sejarah Sumpah Pemuda


Sejarah Sumpah Pemuda

Hari Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tanggal 28 Oktober itu tidak muncul dengan sendirinya. Bila dilihat dari sejarahnya, Sumpah Pemuda dimulai ketika sekelompok pemuda merasa perlu ada sebuah perekat dan pemersatu agar bangsa kita lebih kuat untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Kongres Pemuda Indonesia
Sumpah pemuda merupakan sumpah setia dari hasil rumusan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia atau yang dikenal dengan Kongres Pemuda l dan Kongres Pemuda II. Nah, melalui kongres itulah kita bisa mengenal Sumpah Pemuda.
Kongres Pemuda I berlangsung di Jakarta, pada 30 April—2 Mei 1926. Di kongres itu, mereka membicarakan pentingnya persatuan bangsa bagi perjuangan menuju kemerdekaan. Kemudian, pada tanggal 27—28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia kembali mengadakan Kongres Pemuda II. Dan, pada tanggal 28 Oktober 1928, seluruh peserta membacakan Sumpah Pemuda. Sejak saat itu, setiap tanggal 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Rumusan Sumpah Pemuda
Rumusan itu ditulis Mohammad Yamin di sebuah kertas saat mendengarkan pidato dari Mr. Sunario pada hari terakhir kongres. Inti dari isi Sumpah Pemuda itu adalah Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Inilah yang selalu menjiwai pemuda-pemudi Indonesia dalam merebut dan mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Indonesia.

Isi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tokoh yang terlibat
Banyak tokoh yang menjadi peserta dalam Kongres Pemuda I dan II. Mereka datang mewakili berbagai organisasi pemuda yang ada saat itu. Di antaranya ada yang menjadi pengurus, seperti Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sebagi ketua dan wakilnya, R.M. Djoko Marsaid (Jong Java).
Sementara Mohammad Yamin dari Jong Sumateranen Bond sebagai sekretaris dan bendaharanya Amin Sjarifuddin (Jong Bataks Bond). Mereka juga dibantu oleh Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), R. Katja Soengkana (Pemuda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena (Jong Ambon), dan Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi). Sumpah Pemuda dan kemerdekaan Kelahiran Sumpah Pemuda menjadi senjata yang ampuh untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Dengan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, kesadaran para pemuda Indonesia saat itu pun semakin kuat karena mereka tidak berjuang sendiri. Jadi, Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak sejarah kemerdekaan Indonesia.

Perlawanan di Bali


Sejarah Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali timbulnya perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali memaksakan kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang yakni hak bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan kerajaan yang bersangkutan.

Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843). Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.

patih JelantikDalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha menundukkan rakyat Bali. 

Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I Gusti Ktut Jelantik, yang telah mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.

Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. 

Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.

Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan. Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada di bawah kekuasaan Belanda.

Perang Diponegoro


Pada hakikatnya, Perang Diponegoro adalah masa peralihan dari masa pemerintahan Raja Jawa ke pemerintahan penjajahan langsung.Tidak banyak orang yang paham akan sejarah, sejak kekuasaan Raja Jawa susut hingga berakhir. Sebaliknya, kekuasaan Belanda terus bertambah kuat hingga akhirnya seluruhnya beralih ke pemerintahan Hindia Belanda. Di balik perubahan itu tersembunyi dukacerita. Nasib 'bangsa' yang belum lagi lahir itu hanya dirasakan oleh beberapa gelintir orang, yaitu mereka yang bersukacita, karena mereka justru beroleh untung—karena menyalahgunakan kesempatan—dan kemudian bersukacita. Contohnya? Pejabat yang karena kedudukannya pada masa peralihan harus mencatat luas lahan. Pada hakikatnya, itulah sejarah, karena terjadi di mana saja dan kapan saja. De gelegenheid maakt de dief; kesempatan 'baik' seperi itu jarang terulang, yang membuat orang jadi pencuri atau setidaknya penipu.
Tidak banyak orang—termasuk Belanda—yang mengira bahwa perang yang meletus pada tahun 1825 berlarut-larut. Pendorong sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi hanya dapat ditangkap mereka yang peka dan merasa 'mendongkol' tanpa bisa berbuat apa-apa. Betapa tidak, Belanda bertindak perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tetapi terus 'merangsek' dan kita selalu kalah siasat dan tidak mampu membalas. Perselisihan yang boleh dikatakan semula bersifat pribadi, dan terjadi di barat Yogyakarta kemudian merembet ke mana-mana di seantero Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur, daerah yang dengan istilah Belanda disebut Vorstenlanden, daerah Para Raja Jawa.
Semula tulisan ini hanya bermaksud mengupas babak terakhir perjuangan orang Jawa dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Yang tercakup di dalamnya adalah tahap awal pemerintahan Hindia Belanda, segera setelah Perang Diponegoro berrakhir dan setelah itu disusul oleh penataan keprajaan. Setelah saya perhatikan benar-benar, ternyata masalah yang kita hadapi jauh lebih luas dan rumit. Sebenarnya yang kita hadapi adalah sejarah pembentukan bangsa, bukan bangsa Jawa, melainkan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang itu, Perang Diponegoro jelas merupakan peristiwa yang bagus, bak-jembatan menuju ke zaman baru.
Yang disebut Perang Diponegoro sebenarnya bukan perang yang menghadapkan dua pihak yang bermusuhan. Pada awalnya, yang terjadi lebih dekat diistilahkan (dalam bahasa Belanda) onlusten, atau rebellie, dan dengan istilah kita, pemberontakan. Dalam bahasa Jawa ada istilah ngraman. Dari sini saja kita dapat menafsirkan bahwa sebenarnya pada saat itu pihak Belanda sudah jadi penguasa dan kita rakyat terjajah.
Sebelum perang benar-benar meletus, berkali-kali pihak Belanda berupaya mengajak Pangeran 'bertukar pikiran', akan tetapi selalu gagal. Pada salah upaya itu terjadi yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lengkong. Dua orang pangeran mewakili Residen Yogyakarta A.H. Smitssaert bertolak ke Tegalrejo, naik 'kereta kencana'—istilah Belandanya gouden koets—kendaraan resmi kraton, dikawal oleh 12 abdi dalem dan 60huzaar, serdadu berkuda. Rombongan baru sampai di dusun Lengkong ketika diserang dan semua dihabisi, dan kedua pangeran itu serta para abdi dalem dimakamkan di tempat kejadian.
Pihak penyerang ternyata Sentot Alibasah Prawirodirdjo, salah seorang panglima dalam pasukan Pangeran Diponegoro. Orangnya masih muda dan dikenal pemberani. Semula kejadian itu dianggap kecelakaan, tetapi di antara keturunan Pangeran Moerdaningrat ada yang beranggapan lain. Apalagi Sentot kemudian memihak Belanda dan ditempatkan di daerah Bengkulu
Kita juga perlu mengetahui pribadi Residen Smitssaert yang sebelumnya adalah Residen Rembang (Hageman,1856, h. 32 dst.) Ia seorang pejabat pemerintah yang setia, tetapi orang yang memiliki sikap congkak dan sepak terjangnya sama sekali tidak cocok untuk menghadapi Sri Sultan. Sebagai seorang bukan-penyabar, ia lebih senang berada di rumah dengan keluarganya. Pada zaman itu, setiap Senin dan Kamis malam diadakan pertemuan dengan para pangeran dan pembesar kraton. Pada pertemuan seperti itu ia biasanya lebih sering melimpahkan tugas kepada Asisten Residen, Patih, dan seorang penerjemah. Jika hadir, ia duduk di tempat duduk khusus Sri Sultan, hal yang jelas dirasakan para pangeran dan pejabat merupakan penghinaan.
Pada suatu ketika, Residen memerintahkan kepada Patih agar pada pertemuan berikutnya semua pangeran diundang di Fort Vredenburg, dengan alasan akan ada acara khusus. Ia memerintahkan juga agar 50 rang serdadu disiagakan di gedung berdekatan dengan ruang pertemuan.Tujuannya, untuk segera menangkap Pangeran Diponegoro yang juga diundang. Yang diperkenankan masuk selain Pangeran Diponegoro hanya dua orang, pembawa kotak sirih dan perlengkapan yang lain. Ternyata pada waktu yang telah ditentukan, Pangeran tidak muncul, dan itu membuat Residen menjadi tak sabar. Baru sejam kemudian, pukul 21.00 Pangeran datang, tidak sendirian tetapi dikawal oleh 80 orang pengikutnya, pilihan dan bersenjata lengkap. Kepada penjaga Pangeran berkata, agar disampaikan kepada Residen bahwa ia datang bukan atas kemauan sendiri, tetapi karena Residen memintanya. Jika ia dan pengikutnya tidak diperkenankan masuk, lebih baik ia pulang saja. Setelah permintaan itu disampaikan kepada Residen, Residen langsung tahu bahwa rencana menangkap Pangeran telah bocor.
Akhirnya pertemuan dilakukan juga, dan Residen bersulang minum anggur dengan para pangeran, juga dengan Pangeran Diponegoro. Sebagai muslim, Pangeran tidak minum minuman keras, tetapi pada pertemuan ini ia melakukannya, rupanya untuk menenangkan hatinya. Juga dengan Sekretaris Pangeran bersulang, tetapi kemudian berhenti, seperti bermenung. Tiba-tiba saja ia bangkit, berdiri dan melangkah menuju ke tempat duduk Residen, dijambak rambut dan digojlok kepala wakil pemerintah itu sambil berkata (saya biarkan dalam bahasa Belanda): Smitssaert! Smittssaert! Gij doet mij veel hartzeer aan, wat is er al niet gebeurd dat gij mij verdriet hebt aangedaan; nu moet gij met mij de kans uitmaken, man tegen man, en als ik het verlies, kunt gij uwe begeerte doen in Djokjakarta'(Smitssaert! Smitssaert! Anda telah membuat aku benar-benar sedih. Apa yang telah terjadi, sehingga Anda membuat aku sedih? Sekarang ambillah putusan, satu lawan satu. Jika saya kalah, lakukan apa yang Anda ingini, di Yogyakarta ini.)
Residen geming, benar-benar diam tak bergerak sedikit pun, juga tidak pula mengeluarkan sepatah kata pun. Para saksi mata yang melihat sendiri peristiwa itu menyatakan hal itu kepada Hageman, padahal Residen adalah wakil resmi pemerintah. Para pangeran yang lain pun demikian, mereka tak mengerti apa yang terjadi. Setelah kepala Residen dilepas, Pangeran Diponegoro menuju ke kursi tempat duduk Patih Danoeredjo dan berkata—saya biarkan di sini nas tulisan Hageman dalam bahasa Belanda, yang aslinya tentu berbahasa Jawa, pada hemat saya dalam krama madya, karena saya tidak berani berandai-andai)Danoeredjo, Ook gij doet mij zeer veel hartzeer, en vereenigt U daartoe met den resident en het zoude U zeer aangenaam zijn, wanneer men mij verwijderde, opdat gij Uwe eigen wil zoudt kunnen volgen in Djokjakarta. Gij herinnert U niet meer Uw afkomst, gij herinnert U niet meer de goedheid mijns vaders, en zijt dusdanig geworden.(Diindonesiakan, kira-kira, Danoeredjo, Anda juga telah membuat aku benar-benar sangat sedih, karena Anda memihak residen, kukira akan sangat melegakan Anda jika aku diusir dari Yogyakarta, sehingga apa yang Anda ingini bisa terpenuhi, Anda tidak lagi ingat asal Anda, Anda tidak lagi ingat betapa baik ayahku, dan yang telah terjadi seperti ini.) Dalam suasana seperti itu, jelas komunikasi tidak lagi mungkin. Yang juga perlu diketahui adalah faktor penerjemah. Pilihan kata yang digunakan dalam surat residen kepada Pangeran ikut memanaskan suasana, karena dalam komunikasi kata pangeran tidak lagi digunakan.
Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil sudah cukup untuk menjadi picu yang menyulut perang terbuka, dan peristiwa itu adalah pematokan jalur yang akan dijadikan jalan besar yang melewati lahan Pangeran di Tegalrejo. Karena hal ini sudah disebut-sebut oleh para penulis sejarah, saya kira tidak perlu saya ulangi lagi di sini
Ketika perang benar-bener meletus, cengkeraman Belanda sudah terasa. Mereka membangun jalan yang memperhubungkan tempat yang penting-penting di Jawa, termauk jalan yang melewati lahan Pangeran di Tegalrejo, demikian pula di daerah lain, termasuk Kedu Selatan yang kemudian jadi ajang terakhir perang gerilya. Cara Belanda membangun jalan baru atau meningkatkan jalan sering mengikuti jalur yang sudah ada atau yang semula hanya berupa jalan setapak.
Setelah pergolakan berlangsung terus, dari bulan menjadi tahun, maka yang terjadi—dengan istilah sekarang—'perang gerilya'. Di satu pihak adalah tentara Hindia Belanda, dan di pihak lain para perjurit Pangeran Diponegoro, atau dengan sebutan yang lazim kini, gerombolan bersenjata atau dari sudut pandang yang berbeda, pejuang kemerdekaan.Tak dapat dipungkiri, gerombolan liar itu sebenarya juga memiliki organisasi, karena selain ada pihak yang memimpin, terdapat masa yang bergerak atas perintah pihak pimpinan. Sebagian daripadanya tentu saja adalah mereka yang ada ikatan dengan keraton, tidak hanya Yogyakarta juga Surakarta. Ini baru dapat saya rasakan belum lama ini, ketika saya berkesempatan berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri. Sebagai seorang yang sebelumnya tidak memahami luasnya peperangan, ketika itu saya mendengar ada ikatan yang menghimpun keturunan HB III (dari Yogya) dan P.B. VI (dari Solo), yaitu mereka yang bersimpati kepada kelompok yang ngraman (berontak). Seperti kita ketahui, PB VI yang juga dikenal dengan nama Sunan Bangun Topo, akhirnya dibuang ke Ambon dan wafat di sana. Tidak banyak orang yang tahu apalagi menyadari bahwa di Kebayoran Baru ada jalan Paku Buwono 6, yang tempatnya berdekatan dengan jalan yang menyandang nama pahlawan nasional yang lain seperti Kyai Maja dan Sultan Iskandar yang ada di dekatnya.
Dari zaman itu ada seorang yang menonjol, yaitu Raden Ngabehi Ronggowasito (biasanya ditulis Ranggawasita) III (1802-1873), yang terkenal sebagai pujangga besar terakhir. Makamnya ada di Trucuk dekat Klaten. Daripadanya yang juga sangat terkenal adalah syair Kalatida, yang dianggap sebagai ramalan akan tibanya Jaman Edan (Zaman Gila). Pada hemat saya, dari sikap dan tinggalan tulisann yang bepuncak pada syair itu kita melihat pribadi seorang yang sangat risau menghadapi zaman yang berubah sangat cepat, dan dengan sendirinya juga tatanilainya.
Ranggawasita lahir dengan nama Bagus Burhan dan sempat jadi santri di pesantren Kyai Mohamad Besari, ulama besar di Ponorogo. Ketika itulah ia mendalami filsafat dan keyakinan orang Jawa dan pernah benar-benar berhadapan dengan patroli Belanda. Ia sempat pula terlibat dalam semacam kerjasama dengan sejumlah ahli Belanda, sebut saja J.F.C. Gericke , C.F. Winter, dan Palmer van den Broek, semua dari bidang sastra. Bagi Ranggawasita rupa-rupanya terlalu berat jika harus juga mengubah pandangan hidupnya sebagaimana 'ditawarkan' pihak Belanda kepadanya. Akhirnya, ia menilai lebih baik memilih jalan yang pada hematnya sesuai dengan martabatnya, dan meninggal pada hari, tanggal dan bahkan jam seperti yang dinyatakan sebelumnya.
Dari uraian di atas boleh kiranya kita membuat tafsir berikut: Perang Diponegoro adalah cara orang Jawa menyatakan rasa nasionalisme. Perang itu memunculkan cikal-bakal yang kemudian tumbuh- berkembang menjadi nasionalisme Indonesia. Di pihak orang Belanda juga tumbuh sesuatu yang meyakinkan mereka bahwa setiap perselisihan dapat diatasi dengan cara pendekatan lain yang bukan kekerasam, tetapi saling-pengertian.
Siasat baru Belanda itu diawali dengan menangkap satu demi satu pimpinan gerakan. Setelah itu mengasingkan mereka ke luar Jawa. Di daerah yang terus bergolak disebar 'benteng', atau istilah Belandanya, bentengstelsel. Pada mulanya, yang disebut benteng belum ada; yang ada apa yang dalam bahasa Belanda dinamai schans, yaitu semacam tempat jaga yang dikitari tanggulan tanah. Jadi, kalau mau, kita sebut saja bentengan tetapi bukan benteng. Itulah yang dibangun di sejumlah tempat. Kata Belanda stelselmaknanya aturan atau—yang sekarang umum—sistem. Jadi, yang dimaksud denganbentengstelsel tidak lain adalah jejaring bentengan. Dengan 'alat' itu, ruang gerak para prajurit Pangeran, para gerilyawan—atau dari sudut pandang pemerintah, gerombolan liar atau pengacau—jadi sangat dibatasi. Bisa dibayangkan, semula mereka masih dapat leluasa bergerak, ke mana saja, bahkan bertempat tinggal untuk sementara di suatu tempat sambil bertani.
Setelah Purworejo jadi kota, Belanda menempatkan di sana pasukan dengan jumlah besar. Maka berdirilah di sana garnizoen—yang dalam kosakata Indonesia sekarang jadi garnisun—dengan serdadu (dari kata Belanda soldaat) yang berasal dari mana saja, perwiranya dari Eropa, terutama Eropa Barat dan bawahan selain dari seantero Nusantara, juga dari Afrika. Itu jadi penyebab di Purworejo ada Kampung Aprikanan yang semula dihuni keterunan orang Negro, tetapi sekarang tentu saja sudah berbaur.
Karena memang dibutuhkan, dari mana pun asal seorang, ia bisa jadi anggota KNIL,Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger, tentara Hindia Belanda, atau dengan istilah rakyat 'kumpeni'. Pada awalnya, bagian terbesar yang disebut benteng memang pos jaga yang Belandanya schans atau bentengan seperti disinggung tadi. Baru setelah Belanda 'mapan', benteng yang padan asingya fort dibangun untuk menghadapi keadaan darurat, bilamana mereka sampai terdesak dan harus bertahan.
Salah satu di antara benteng tinggalan dari zaman itu terdapat di pinggir utara Gombong yang diberi nama Fort Cochius. Frans David Cochius adalah perwira Belanda yang oleh pemerintahnya dinilai berjasa dalam Perang Jawa. Sewaktu Perang berlangsung, Cochius belum berpangkat jenderal, dan benteng Cochius dibangun berhadap-hadapan dengan (bekas) markas Pangeran di Brangkal. Yang lucu (ajaib, aneh, atau kata lain), sekarang benteng itu bernama 'Benteng Van der Wick', padahal yang bernama Van der Wijck, 1863—1914, adalah mantan Gubernur Jendral Hindia Belanda! Untuk menambah daya tarik bagi para wisatawan (!) —tempat ini sekarang dimaksudkan sebagai salah satu objek wisata di Gombong, dan dijadikan sumber pendapatan asli daerah, PAD—tempat itu juga dilengkapi dengan patung dinosaurus (!), dan tentu saja ayunan untuk bermain anak.
Saya mempunyai dugaan, jangan-jangan Benteng Cochius dibangun dengan tujuan—dalam bahasa Belanda—untuk beduvelen atau om de tuin leiden, mengelabui musuh. Dari sudut ukuran besarnya, bangunan itu kecil. Kalau Belanda memang berniat menghancur-leburkan Brangkal mereka tentu bisa, karena mereka memiliki meriam dan pada awal perang mereka bawa senjata itu ke mana-mana. Bahkan tidak sedikit kampung yang mereka hancurkan. Rupanya timbul pertimbangan lain, karena kampung yang hancur, akhirnya juga harus dibangun kembali dan biayanya tentu saja dari kas negara.Yang juga dipertimbangkan, merusak desa tidak membuat rakyat jadi berpihak pada Belanda.
Ada baiknya kita sedikit menyinggung istilah fort. Kata fort berasal dari bzhasa Perancis, dan pada gilirannya dari kata Latin Kuno, yang artinya kuat. Dalam perkembangannya, kata itu menunjuk ke tempat yang digunakan agar dapat bertahan bila sewaktu-waktu diserang musuh, sedangkan tembok atau parit di seputarnya dimaksudkan untuk menyulitkan gerakan maju musuh.
Seperti kita ketahui, benteng terdapat di depan Keraton Yogyaarta dan Keraton Surakarta.Tujuan dua benteng itu serupa, untuk menghadapi kalau-kalau raja Jawa berontak!.Mengitari keraton juga terdapat 'benteng' Di sudut dan di titik tertentu ada tempat yang memungkinkan orang memperoleh pemandangan keluar. Orang Belanda menyebutnya uitkijkpost, pos pengamatan tempat orang dapat mengikuti gerak-gerik orang klintar-klinter, kian-kemari tanpa tujuan jelas. Jika kita perhatikan nama benteng di Yogyakarta dan Solo, yaitu Vredenburg, Puri Perdamaian, maka boleh-boleh saja kita mengira, benteng dengan nama kembar 'puri perdamaian' itu merupakan bagian strategi Belanda dalam upaya mereka menghadapi para bangsawan yang mereka rasakan tidak mudah.
Benteng satu lagi adalah Fort Willem I—Raja Belanda pertama dari Wangsa Oranya Nassau—di dekat Kota Ambarawa. Rupanya, benteng ini untuk menghadapi gerilyawan yang pada waktu itu masih berkeliaran. Selanjutnya ada yang dikenal dengan sebutanbenteng pendem (benteng bawah tanah) di dekat Ngawi, di tepi Bengawan Solo. Tujuannya jelas untuk memantau gerakan para pemberontak yang mencoba menyelinap lewat sungai. Mereka yang bergerak lewat sungai pasti membawa barang berat, apa lagi kalau bukan senjata dari luar negeri, tepatnya Turki.
Juga di Cilacap terdapat benteng pendem, karena Belanda yang semula hanya 'mencium' (curiga) akhirnya membuktikan memang ada senjata selundupan dari Turki.Turki sebagai negara adidaya zaman itu memang perlu diperhitungkan. Pengaruh Turki tidak hanya sebatas senjata, karena dalam pasukan Pangeran terdapat juga istilah kepangkatan. Dalam kalangan tertentu di Jawa, nama yang asalnya dari kepangkatan dalam angkatan besenjata Turki seperti alibasah dan bulkiyo masih kita jumpai hingga beberapa waktu yang lalu.
Bagaimana penyelundupan bisa terjadi lewat laut? Tentu saja tidak dengan menggunakan kapal kecil seperti yang dimiliki nelayan kita, tetapi kapal besar yang di zaman itu dikenal dengan istilah 'jong' atau Indonesianya, jung dan Belandanya jonk, kapal Cina tiga-tiang, yang baik haluan (depan) maupun buritammya (belakang) tinggi. Sampai hari ini kata 'jong' masih kita jumpai pada nama bukit Jongkemureb (jung terbalik) yang ada di selatan jalan raya di antara Gombong dan Karangnyar.
'Benteng pendem' sebenarnya bukan benteng, tetapi uitkijkpost, pos pengamatan. Apalagi yang ada di Cilacap itu sekarang masih dalam keadaan baik. Letaknya di tepi laut bebas, tetapi cukup tenang karena ada Pulau Nusakambangan. Tempatnya sangat ideal untuk penyelundupan dengan kapal Cina yang dikenal dengan nama 'jong', dengan haluan dan buritan tinggi. Dari kapal besar senjata selundupan kemudian dipindahkan ke perahu kecil-kecil milik para nelayan. Nama 'jong' masih tertinggal berupa nama bukit rendah, Jongkemureb (jong terbalik) yang ada di tepi selatan jalan besar antara Gombong dan Karanganyar.
Yang disebut schans atau bentengan jumlahnya jauh lebih banyak. Di daerah yang bergolak di bagian barat Kedu Selatan ada empat buah, semua di tepi jalan raya yang ketika itu ada, yaitu satu yang menjulur di bagian utara dataran yang kering dan satu lagi di dekat pantai. Mutu jalan itu ditingkatkan dengan rodi (tenaga kerja paksa). Dulu, di sepanjang dua jalan raya itu ditemukan tonggak pada setiap jarak 1 mijl (mil, 1,5km). Istilah Belanda untuk jalan itu postweg (jalan pos). Pada waktu kecil, penulis sempat menjumpai tugu mil itu di jalan yang ada di utara. Pada jalan yang selatan, tonggak itu ramping (boleh jadi untuk menghemat bahan) dan masih dapat ditemukan hingga beberapa waktu yang lalu, entah sekarang. Jika toh ada, mungkin yang tertinggal hanya beberapa buah saja.
Nama daerah yang dilalui jalan kedua itu Urutsewu, 'deretan seribu kampung', karena kampung yang satu dengan yang lain bersambung. Jalan yang lurus nyaris tanpa kelokan dengan panjang sekitar 65 km itu tanahnyai pasir hempasan gelombang samudera. Jalan diperkeras dengan kulit kerang yang diambil dari tepi laut, karena batu tidak ada. Dulu kulit keramg melimpah, tetapi karena diambil orang terus-menerus, kini jadi barang langka. Di tepi laut terdapat gumuk, bukitan-pasir-rendah, yang terbentuk dari pasir hempasan gelombang, yang kemudian tertiup angin dari arah laut terus-menerus. Sebagai anak di Karanganyar, saya sering bertamasya ke tepi laut; karena jarak yang hanya sekitar 15 km itu dengan mudah saya tempuh dengan sepeda. Yang disebut jukut lari-lari jadi mainan untuk 'ditangkap', karena angin yang terus bertiup membuatnya menggelinding jauh dan sulit dikejar.
Jalan yang sudah ada sejak pra-Perang Diponegoro itu merupakan penghubung antara daerah Yogya dan Banyumas, dan terus digunakan hingga para gerilyawan makin terdesak. Meskipun lurus, tetapi sejumlah sungai harus diseberangi, yang dilakukan orang pada masa lalu dengan rakit. Sejak ada 'Pelita' (setelah tahun 1970), semua sungai berjembatan. Kini, Jalan Urutsewu dapat dilalui semua jenis mobil—termasuk sedan—yang bertolak dari Yogya, melintasi Pegunungan Karangbolong dan terus melanjutkan perjalanan ke Cilacap.
Deretan gumuk di sepanjang Urutsewu mengandung cadangan airtanah untuk masa depan. Juga pegunungan gamping di antara Ijo dan Karangbolong berisi air. Berbeda dengan daerah Urutsewu, pegunungtan gamping sudah diincar banyak pihak, apa lagi jika bukan untuk keperluan industri semen. Jangan! Air untuk masa depan lebih penting.
Pada waktu daerah Kedu Selatan masih bergolak ada empat pos jaga. Sebuah pos ditempatkan di Margalunyu di jalan yang menjulur dari barat. Bila hujan jalan itu licin karena tanahnya napal, sejenis lempung. Orang yang hendak ke Gombong pasti melewatinya, karena menghindari daerah pegunungan yang pada awal abad ke-20—ini menurut Ayah—di sana masih banyak harimau. Satu lagi pos jaga terdapat di Kemit, yang dalam bahasa Jawa artinya tempat jaga. Kemit ada di tepi jalan besar di hilir K.Brangkal. Di Kemit juga ada pos jaga di garis demarkasi, sebelum Belanda menyerbu “Republik Yogya” pada tanggal 19 Desember 1948. Pos satu lagi ada di Sulastri, di tepi jalan penghubung antara Urutsewu dan jalan besar Kemit, dan yang terakhir, pos Petanahan pada jalan besar Urutsewu.
Semua jalan itu dilewati patroli 'kumpeni', yaitu kesatuan KNIL. Kata patrouille dipungut Belanda dari bahasa Perancis, yang kemudian kita pinjam. Selain pos jaga Belanda yang disebut 'benteng', juga ada pos jaga orang desa yang dalam bahasa rakyat disebut 'patrol', yang tentu saja berasal dari kata Belanda-asal-Perancis tadi.
Jalan umum berguna tidak hanya sebagai sarana perhubungan karena para gerilyawan juga dapat memanfaatkannya untuk berpindah-pindah. Bagi kumpeni gunanya untuk meronda pasukan. Kata meronda berasal dari kata Belanda ronde, putaran. Kata meronda masuk dalam kosakata kita pada zaman itu, yang ujungnya menyebabkan para gerilyawan makin terdesak. Petanahan di tepi barat dekat muara K. Lukulo digunakan untuk mendirikan benteng, karena daratan di sana cukup luas, sama halnya dengan di seberang timur sungai. Tanah yang luas itu disebabkan oleh pelonggokan bahan yang dibawa Kali Lukulo setiap musim kemarau, ketika muara sungai tersumbat oleh bahan pasir yang asalnya dari hempasan gelombang. Sebagai akibatnya muka air sungai pun naik.
Setelah trantib dapat terlaksana, para pejabat pemerintah mulai melakukan perjalanan dinas yang disebut tourné, karena itu merupakan bagian dari tugas mereka. Yang juga penting adalah surat-menyurat dinas. Kegiatan itu memanfaatkan kehadiran jalan besar antarkota yang diberi nama postweg (jalan pos) dan kendaraan penghubungnya disebutpostkoets (kereta pos) yang jadi perkara keseharian dan melekat pada kehidupan masyarakat pada zaman itu. Jalan besar Urutsewu juga dijadikan jalan pos, dan setiap mil (mijl, 1,5km) ada tonggak petanda. Kereta pos ditarik kuda yang ditukar setiap lima mil. Dulu, saya melihat tugu mil lebih banyak, tetapi akhir-akhir ini jumlahnya makin susut. Di antara tugu itu ada yang berubah fungsi dan digunakan sebagai semacam titian. Dulu orang tidak membutuhkan titian, karena di sepanjang jalan tidak ada selokan; dan hujan yang tercurah akan segera meresap ke dalam tanah disebabkan oleh sifat tanah berpasir. Jalan pos yang kini masih tersisa adalah 'Jalan Pos' di Jakarta Utara dan Bogor. Di tempat lain, nama Jalan Pos diganti, biasanya dengan nama pahlawan. Sampai 1950-an di Bandung juga ada Grote Postweg West (Jalan-Besar Pos Barat) yang sekarang jadi Jalan Sudirman, dan Grote Postweg Oost, yang sekarang terpecah dalam sejumlah ruas dengan namanya sendiri.
Belanda menilai hubungan (berita, berkomunikasi) sangat penting. Setelah kawat telegrap pertama antara Batavia (Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor) terpasang pada tahun 1855, tak lama kemudian jejaring telegrap terdapat di banyak daerah, termasuk di daerah Kedu Selatan sejak trantib sudah dapat diberlakukan. Setelah telegrap makin meluas, kawat telegrap juga direntangkan di sepanjang jalan raya, dan setelah jaringan kereta ada, selain itu juga di sepanjang rel keretapi. Keretapinya sendiri, khususnya yang dinamai Eendaagse Expresse (KA Espres Sehari Jakarta-Surabaya) pada tahun 1930-an, selain dilengkapi gerbong pos khusus, memiliki gawai yang dapat mempertukarkan kiriman pos antarsetasion. Dengan perlengkapan semacam itu, pengiriman dan penerimaan benda pos antara Jakarta dan Surabaya dapat terlaksana dalm waktu satu hari.

Perang Padri


Sejarah Perang Padri Lengkap Penyebab, Pemimpin dan Akhir Perang Padri



Sejarah perang padri
Sejarah Perang Padri

Sejarah Perang Padri Lengkap


Sejarah Perang Padri

Perang Padri terjadi di Sumatera barat dan sekitarnya tepatnya di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini terjadi akibat adanya  pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Pada abad ke-9 tiga orang ulama Minangkabau kembali dari tanah suci, yaitu Haji Miskin, Haji Piabang , dan Haji Sumanik. Mereka mempelajari dan mengembangkan aliran Wahabi, yaitu gerakan yang menghendaki agama islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan Al Quran dan alhadist. Gerakan mereka disebut gerakan Padri ( Artinya tokoh tokoh agama/ ulama). Tujuan gerakan ini adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan mengembalikan mereka pada jalan  yang sesuai dengan ajaran ajaran islam yang benar.

Gerakan Padri disambut baik oleh para ulama dan sebaliknya gerakan tersebut ditentang keras oleh kaum adat yang menolak dihapusnya adat kebiasaan yang telah berakar meskipun melanggaar agama. Maka terjadi ketegangan antara kaum padri dengan kaum adat setempat.

Penyebab terjadinya Perang Padri

Apa saja sih penyebab perang Padri? Berikut adalah penjelasannya:

a. Sebab sebab perang Padri:

  1. Adanya perselisihan antara kaum adat dan kaum padri sebagai akibat dari usaha yang dilakukan kaum padri untuk memurnikan ajaran Islam dengan menghapus adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
  2. Campur tangan belanda dengan membantu kaum adat .Pertempuran pertama terjadi dikota lawas kemudian meluas ke daerah daerah lain. Sehingga muncul pemimpin pemimpin yang mendukung gerakan kaum padri seperti Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa (Imam Bonjol), Tuanku pasaman, Tuanku Nan Rencek, Tuanku Nan. cerdik, dan Tuanku Nan Gapuk. 
b. Proses peperangan

Tahap 1 (1821-1825)

  1. Peperangan terjadi antara kaum adat dan kaum padri karena masalah agama.
  2. Berkobar sebelum perang diponegora.
  3. Dari kota lawas pertempuran meluas ke Alahan panjang dan Tanah datar.
  4. Kaum adat meminta bantuan kepada inggris namun ditolak karena inggris sudah didak mempunyai kekuasaan lagi di Indonesia.
  5. Kaum adat meminta bantuan kepada belanda tahun 1821 sehingga kaum padri menyerang pos pos belanda di Semawang , soli air dan Lintau 
  6. Belanda mendirikan benteng Fort Van Capellen di Batusangkar dan Fort De Kock di Bukit tinggi untuk menggempur kaum padri. Upaya ini gagal sehingga Belanda mundur menuju ke Pagar Ruyung.
  7. Tahun 1822 terjadi pertempuran di Baso dipimpin oleh Tuanku Nan Rencek. Di Bonio kaum padri berhasil menyerang pos belanda yang di pimpin oleh Letnan Maartius dan kapten Brusse.
  8. 24 September 1822 pasukan paderi menyerang Belanda di Agam.
  9. Tahun 1825 posisi belanda semakin sulit apalagi dijawa sedang berlangsung perang Diponegoro, sehingga belanda mengajak kaum padri untuk melaksanakan perundingan. Maka diadakanlah kontrak Perdamaian pada tanggal 19 Oktober 1825 di Padang. Untuk sementara perang terhenti belanda memusatkan pasukannya di jawa untuk menghadapi perang diponegoro yang telah berkobar.

Sejarah Perang Padri Lengkap Penyebab, Pemimpin dan Akhir Perang Padri

Sejarah Perang Padri (Tahap II)

  1. Merupakan perang antara masyarakat Minangkabau melawan belanda untuk mempertahankan wilayah mereka dari belanda.
  2. Perang ini berkobar setelah perang Diponegoro.
  3. Tahun 1831 serangan kaum padri mulai gencar perang berkobar di muara palam.
  4. Tahun 1832 tuanku nan cerdik bergabung Dengan tuanku imam bonjol menyerang pos pos belanda di Mangapo. Belanda menerapkan tak tik adu domba dengan cara mengirim pasukan pimpinan sentot prawirodirjo (salah seorang pemimpin perang diponegoro yang menyerah). Ternyata sentot membantu kaum padri melawan belanda sehingga ia ditangkap dan diasingkan di Cianjur jawa barat. Tahun 1833 pertempuran meletus di daerah Agam. Kaum padri mulai mengalami kekalahan karena menyerahnya beberapa pemimpin perlawanan seperti Tuanku Nan Cerdik
  5. Akhir tahun1834 Belanda memusatkan pasukannya untuk menduduki daerah sekitar bonjol dengan sasaran utamanya menguasai bonjol. Belanda menutup jalan jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah lain. Pasukan paderi pantang menyerah mempertahankan bonjol dengan membuat parit parit sehingga Belanda kesulitan masuk bonjol. Maka Belanda menyerang Bonjol dengan meriam.
  6. Tanggal 8 februari 1835 Tuanku Imam Bonjol Bersedia mengadakan gencatan senjata belanda memaksanya menyerah. Ia bersedia dengan syarat pasukan Belanda ditarik dari Alahan panjang. Belanda menolak sehingga kembali terjadi pertempuran.
  7. Bulan agustus 1835 Tuanku Imam Bonjol bersedia berunding kembali tetapi belanda menolak dengan alasan kaum paderi akan menggunakan kesempatan ini untuk menyusun siasat . Pertempuran akhirnya meletus kembali.
  8. Bulan Oktober 1835 Bonjol dikepung dan tembakan dilancarkan kearah Benteng Bonjol .Akhirnya benteng  bonjol jatuh ketangan belanda setelah selama 2 tahun dipertahankan mati-matian oleh kaum Padri.
  9. Tanggal 15 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol menyerah sehingga perlawanan rakyat Minangkabau melemah dan dianggap sudah tidak ada artinya lagi oleh pasukan Belanda

Akhir Perang Padri

Akhirnya pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil  ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu , yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Hancurnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah kenegeri sembilan semenanjung malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai karena sudah tidak ada perlawanan yang berarti.