EVE - Wall-E

Senin, 16 November 2015

Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

Masa Pendudukan Jepang di Indonesia


 



Oleh : SS-Hauptsturmführer Ajisaka Lingga Bagaskara

Masa pendudukan Jepang merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia ditujukan untuk mewujudkan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Jepang menyerbu pangkalan Angkatan Laut di Pearl Harbour, Hawai. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 7 Desember 1941. Gerakan invasi militer Jepang cepat merambah ke kawasan Asia Tenggara. Pada bulan Januari-Februari 1942, Jepang menduduki Filipina, Tarakan (Kalimantan Timur), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda. Pada bulan Februari 1942 Jepang berhasil menguasai Palembang. Untuk menghadapi Jepang, Sekutu membentuk Komando gabungan. Komando itu bernama ABDACOM (American British Dutch Australian Command). ABDACOM dipimpin oleh Jenderal Sir Archibald Wavell dan berpusat di Bandung. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang berhasil mendarat di Jawa yaitu Teluk Banten, di Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Timur). Pada tanggal 5 Maret 1942 kota Batavia jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda secara resmi menyerah kepada Jepang.

Upacara penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dalam upacara tersebut Sekutu diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh dan Jenderal Ter Poorten, sedang Jepang diwakili oleh Jenderal Hitoshi Imamura. Dengan penyerahan itu secara otomatis Indonesia mulai dijajah oleh Jepang.Kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia pada prinsipnya diprioritaskan pada dua hal, yaitu:
1. Menghapus pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan
2. Memobilisasi rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.


A. INTERAKSI BANGSA INDONESIA DENGAN JEPANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA

Jauh hari, sebelum berlangsungnya Perang Dunia II, telah terjadi hubungan antara tokoh-tokoh nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang, antara lain Gatot Mangkupraja dan Moh. Hatta. Sesudah kunjungannya ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot Mangkupraja berkeyakinan bahwa Jepang dengan gerakan Pan-Asia mendukung pergerakkan nasional Indonesia.

Moh. Hatta adalah tokoh yang memegang teguh paham nasionalisme. Meskipun beliau secara tegas menolak imperialism Jepang, tetapi beliau tidak mengecam perjuangan Jepang dalam melawan ekspansi Negara-negara Barat. Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang karena beliau berkeyakinan pada ketulusan Jepang dalam mendukung kemerdekaan Indonesia.

Faktor lain yang menyebabkan timbulnya simpati rakyat Indonesia kepada Jepang adalah sikap keras pemerintah Hindia Belanda menjelang akhir kekuasaannya. Pada tahun 1938, pemerintah colonial menolak Petisi Sutardjo yang meminta pemerintahan sendiri bagi bangsa Indonesia dalam lingkungkan kekuasaan Belanda sesudah 10 tahun. Setahun kemudian, Belanda pun menolak usulan dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang dirumuskan dalam slogan Indonesia Berparlemen. Penolakan-penolakan tersebut menimbulkan keyakinan kaum pergerakan nasional Indonesia bahwa pihak Belanda tidak akan memberikan kemerdekaan. Di lain pihak, Jepang sejak awal sudah mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia.


B. KEBIJAKAN PEMERINTAHAN PENDUDUKAN JEPANG




Pada 8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Hal itu menandai berakhirnya masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dan digantikan oleh pemerintah pendudukan Jepang.

1. SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN




I.) Sistem Pemerintahan Militer

Berbeda dengan zaman Hindia Belanda yang hanya terdapat satu pemerintahan sipil, pada zaman pendudukan Jepang terdapat tiga pemerintahan militer penduudukan sebagai berikut.
a.) Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-25) untuk Sumatera, dengan pusatnya di Bukittinggi.
b.) Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Ke-16) untuk Jawa dan Madura, dengan pusatnya di Jakarta.
c.) Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Ke-2) untuk Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku, dengan pusatnya di Makassar.

Panglima Tentara Ke-16 di Pulau Jawa ialah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Kepala Stafnya ialah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Mereka mendapat tugas membentuk suatu pemerintahan militer di Jawa dan kemudian diangkat sebagai Gunseikan (kepala pemerintahan militer). Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu, yang terdiri dari atas 5 macam departemen (bu), yaitu sebagai berikut.
a.) Departemen Urusan Umum (Sumobu),
b.) Departemen Keuangan (Zaimubu),
c.) Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu),
d.) Departemen Lalu Lintas (Kotsubu),
e.) Departemen Kehakiman (Shihobu).

Pada bulan Agustus 1942, pemerintahan militer Jepang meningkatkan penataan pemerintahan. Hal ini tampak dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 27 tentang aturan pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 28 tentang aturan pemerintahan syú dan tókubetsu syi. Kedua undang-undang tersebut menunjukkan dimulainya pemerintahan sipil Jepang di Pulau Jawa.

Menurut Undang-Undang No. 27, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali kõci (daerah istimewa) Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas tingkatan berikut.
a.) Karesidenan (syú) dipimpin oleh seorang syucõ.
b.) Kotapraja (syi) dipimpin oleh seorang syicõ.
c.) Kabupaten (ken) dipimpin oleh seorang kencõ.
d.) Kawedanan atau Distrik (gun) dipimpin oleh seorang guncõ.
e.) Kecamatan (son) dipimpin oleh seorang soncõ.
f.) Kelurahan atau Desa (ku) dipimpin oleh seorang kucõ.

Meningkatnya Perang Pasifik semakin melemahkan Angkatan Perang Jepang. Guna menahanan serangan Sekutu yang semakin hebat, Jepang mengubah sikapnya terhadap negeri-negeri jajahannya. Di depan Sidang Istimewa ke-82 Parlemen di Tokyo pada tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo mengeluarkan kebijakan memberikan kesempatan kepada orang Indonesia untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan negara. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus 1943 dikeluarkan pengumuman Saikō Shikikan (Panglima Tertinggi) tentang garis-garis besar rencana mengikutsertakan orang-orang Indonesia dalam pemerintahan.

Pengikutsertaan bangsa Indonesia dimulai dengan pengangkatan Prof. Dr. Husein Djajadiningrat sebagai Kepala Departemen Urusan Agama pada tanggal 1 Oktober 1943. Kemudian pada tanggal 10 November 1943, Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A Suryo masing-masing diangkat menjadi syúcokan di Jakarta dan Bojonegoro. Pengangkatan tujuh penasihat (sanyō) bangsa Indonesia dilakukan pada pertengahan bulan September 1943, yaitu sebagai berikut.
a.) Ir. Soekarno untuk Departemen Urusan Umum (Somubu).
b.) Mr. Suwandi dan dr. Abdul Rasyid untuk Biro Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri (Naimubu-bunkyōku).
c.) Prof. Dr. Mr. Supomo untuk Departemen Kehakiman (Shihōbu).
d.) Mochtar bin Prabu Mangkunegoro untuk Departemen Lalu Lintas (Kotsubu).
e.) Mr. Muh Yamin untuk Departemen Propaganda (Sendenbu).
f.) Prawoto Sumodilogo untuk Departemen Perekonomian (Sangyobu).

Pemerintah pendudukan Jepang kemudian membentuk Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In). Badan hal ini bertugas mengajukan usulan kepada pemerintah serta menjawab pertanyaan pemerintah mengenai masalah-masalah politik dan memberi saran tindakan-tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia.

II.) Pembentukan Organisasi-Organisasi Semi Militer

Guna memperkuat barisan pertahanan dan membantu kekuatan militer, Jepang mengeluarkan kebijakan untuk membentuk organisasi-organisasi semi militer yang mengikutsertakan rakyat Indonesia, antara lain sebagai berikut.

a. Seinendan


Pada tanggal 29 April 1943, tepat pada hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito, diumumkan secara resmi pembentukan dua organisasi pemuda, yaitu seinendan dan keibodan. Keanggotaan seinendan terbuka bagi pemuda-pemuda Asia yang berusia antara 15-25 tahun, yang kemudian diubah menjadi batasan usia 14-22 tahun, karena suatu kebutuhan yang mendesak. Tujuan didirikannya Seinendan adalah untuk mendidik dan melatih para pemuda agar dapat menjaga dan mempertahankan tanah airnya dengan menggunakan tangan dan kekuatannya sendiri. Tetapi, maksud terselubung diadakannya pendidikan dan pelatihannya ini adalah guna mempersiapkan pasukan cadangan untuk kepentingan Jepang di Perang Asia Timur Raya.

b. Keibodan

Keibodan merupakan barisan pembantu polisi Jepang dengan tugas-tugas kepolisian, seperti penjagaan lalu lintas dan pengaman di desa-desa. Anggotanya ialah pemuda-pemuda yang berusia antara 20-35 tahun, yang kemudian diubah menjadi antara 26-35 tahun. Untuk kalangan etnis Cina juga dibentuk semacam Keibodan, yang disebut Kakyo Keibotai.

c. Heiho


Pada bulan April 1943 dikeluarkan pengumuman mengenai pembukaan kesempatan kepada para pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang (Heiho). Pemuda yang ingin menjadi anggota Heiho harus memenuhi syarat-syarat kecakapan umum, seperti berbadan sehat, berkelakuan baik, berumur antara 18-25 tahun, dan berpendidikan serendah-rendahnya adalah Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).

d. Pembela Tanah Air (PETA)


PETA dibentuk atas prakarsa Gatot Mangkupraja dan disahkan melalui Osamu Seirei No. 44 tanggal 3 Oktober 1943. Berbeda dengan Heiho, PETA mengenal lima macam tingkat kepangkata, sebagai berikut ini.

*Komandan Batalion (Daidanco), dipilih dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, politikus, dan penegak hokum.
*Komandan Kompi (Cudanco), dipilih dari kalangan yang telah bekerja, tetapi belum mencapai pangkat yang tinggi, seperti guru sekolah dan juru tulis.
*Komandan Peleton (Shodanco), dipilih dari kalangan pelajar-pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama atau sekolah lanjutan tingkat atas.
*Komandan Regu (Budanco) dan Komandan Pasukan Sukarela (Giyuhei), dipilih dari kalangan pemuda dari tingkatan Sekolah Dasar.

Dalam perkembangannya, ternyata banyak sekali anggota PETA di beberapa daidan (battalion) yang merasa kecewa terhadap pemerintah pendudukan Jepang. Kekecewaan tersebut menimbulkan pemberontakan. Pemberontakan PETA di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Supriyadi dan Muradi.

e. Fujinkai


Selain pemuda, juga dilakukan pembentukan organisasi kaum wanita. Pada bulan Agustus 1943, dibentuklah Fujinkai (Himpunan Wanita) yang usianya minimal adalah 15 tahun. Organisasi ini bertugas untuk mengerahkan tenaga perempuan turut serta dalam memperkuat pertahanan dengan cara mengumpulkan dana wajib. Dana wajib dapat berupa perhiasan, bahan makanan, hewan ternak ataupun keperluan-keperluan lainnya yang digunakan untuk perang.

sumber : http://indonesian-persons.blogspot.co.id/2013/11/masa-pendudukan-jepang-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar