Dalam rangka “menjepangkan” bangsa Indonesia, Jepang melakukan beberapa peraturan. Dalam Undang-Undang No. 4 ditetapkan hanya bendera Jepang, Hinomaru, yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan hanya lagu kebangsaan Kimigayo yang boleh diperdengarkan. Sejak tanggal 1 April 1942 ditetapkan harus menggunakan waktu (jam) Jepang. Perbedaan waktu antara Tokyo dan Jawa adalah 90 menit. Kemudian mulai tanggal 29 April 1942 ditetapkan bahwa kalender Jepang yang bernama Sumera. Tahun 1942 kalender Masehi, sama dengan tahun 2602 Sumera. Demikian juga setiap tahun rakyat Indonesia diwajibkan untuk merayakan hari raya Tancōsetsu, yaitu hari lahirnya Kaisar Hirohito.
Dalam situasi perang, Jepang berkepentingan untuk membangun berbagai sarana, seperti kubu-kubu pertahanan, benteng, jalan-jalan, dan lapangan udara. Untuk itu, perlu tenaga kasar yang disebut romusha.
Bentuk kerja paksa seperti halnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda (Kerja Rodi) juga terjadi pada masa pendudukan bala tentara Jepang, yang disebut dengan Romusha. Para tenaga kerja paksa ini dipaksa sebagai tenaga pengangkut bahan tambang (batu bara) , pembuatan rel kereta api serta mengangkut hasil hasil perkebunan.Tidak terhitung berapa ratus ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban romusha. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Romusha, Jepang menyebut romusha sebagai “Pahlawan Pekerja/Prajurit Ekonomi”.
Para romusha diperlakukan dengan sangat buruk. Mulai dari pagi buta hingga petang, mereka dipaksa untuk melakukan pekerjaan kasar tanpa makanan dan perawatan. Oleh karena itu, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah sehingga banyak yang menderita berbagai jenis penyakit, bahkan meninggal dunia di tempat kerjanya. Belum lagi siksaan bagi yang melawan mandor-mandor Jepang, seperti cambukan, pukulan-pukulan, dan bahkan tidak segan-segan tentara Jepang menembak para pembangkang tersebut.’
Untuk mendukung kekuatan dan kebutuhan perangnya, pemerintah Jepang mengambil beberapa kebijakan ekonomi, antara lain.
I.) Pengambilan Aset-Aset Pemerintah Hindia Belanda
Aset-aset yang ditinggalkan oleh pemerintah colonial Belanda disita dan menjadi milik pemerintah pendudukan Jepang, seperti perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, pertambangan, sarana telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.
II.) Kontrol terhadap Perkebunan dan Pertanian Rakyat
Tidak semua tanaman perkebunan dan pertanian sesuai dengan kepentingan perang. Hanya beberapa tanaman saja yang mendapat perhatian pemerintah pendudukan Jepang, seperti karet dan kina, serta Jarak. Kopi, teh, dan tembakau hanya dikategorikan sebagai tanaman kenikmatan dan kurang berguna bagi keperluan perang sehingga perkebunan ketiga tanaman tersebut banyak digantikan dengan tanaman penghasil bahan makanan dan tanaman jarak yang berguna sebagai pelumas mesin pesawat tentara Jepang.
III.) Kebijakan Moneter dan Perdagangan
Pemerintah pendudukan Jepang menetapkan bahwa mata uang yang berlaku, tetap menggunakan gulden atau rupiah Hindia Belanda. Tujuannya adalah agar harga barang-barang tetap dapat dipertahankan seperti sebelum terjadinya perang.
Perdagangan pada umumnya lumpuh dikarenakan menipisnya persediaan barang-barang di pasaran. Barang-barang yang dibutuhkan oleh rakyat didistribusikan melalui penyalur yang ditunjuk agar dapat dilakukan pengendalian harga.
IV.) Sistem Ekonomi Perang
Dalam situasi perang, setiap daerah harus menetapkan sistem ekonomi autarki, yaitu sistem ekonomi yang mengharuskan setiap daerah berupaya memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, tanpa mengandalkan bantuan dari daerah lain. Setiap daerah autarki mempunyai tugas pokok memenuhi kebutuhan pokok sendiri untuk tetap bertahan dan mengusahakan memproduksi barang-barang untuk keperluan perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar